Beranda | Artikel
Beberapa Kekeliruan Seputar Mayit dan Kubur (1)
Selasa, 23 Juni 2009

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

[Amalan yang Bermanfaat bagi Mayit]

Adapun sedekah untuk mayit, itu akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Terdapat dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Semacam perkataan Sa’ad,

 يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ أُمِّي اُفْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا ؟

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku tiba-tiba meninggal dunia. Seandainya beliau berbicara, tentu beliau akan menyedekahkan hartanya. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah untuknya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya bermanfaat.”

Begitu pula menghajikan si mayit, menyembelih kurban atas namanya, memerdekakan budak atas namanya, mendoakan dan memintakan ampun untuknya, ini semua bermanfaat bagi mayit dan tidak ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. 

[Puasa, Shalat dan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit] 

Adapun mempuasakan si mayit, shalat sunnah diniatkan untuknya dan membacakan Al Qur’an untuknya, permasalahan ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat pertama: amalan-amalan tadi bermanfaat untuk mayit. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Syafi’iyah dan selainnya. Pendapat kedua: pahala amalan tersebut tidak sampai kepada mayit. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. 

[Meminta Upah dari Bacaan Al Qur’an] 

Adapun meminta upah dan memberi hadiah karena membaca Al Qur’an untuk si mayit, maka ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Para ulama masih berselisih pendapat tentang bolehnya mengambil upah dari pengajaran Al Qur’an, mengumandangkan adzan, menjadi imam dan menghajikan orang lain karena orang yang memberi upah itu mendapatkan manfaat. 

[Pendapat pertama] Ada ulama yang mengatakan bolehnya hal ini sebagaimana pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. 

[Pendapat kedua] Namun ada ulama yang mengatakan bahwa hal ini tidak dibenarkan karena amal yang dikhususkan untuk ketaatan kepada Allah hanya diperuntukkan bagi orang muslim, bukan orang kafir. Oleh karena itu, amalan seperti ini tidaklah boleh dilakukan melainkan untuk mengharap wajah Allah dalam rangka melakukan ketaatan kepada-Nya. Jika amalan tersebut dilakukan untuk mendapatkan kemewahan dunia, maka amalan tersebut tidaklah akan berbuah pahala -berdasarkan kesepakatan para ulama-. Sesungguhnya Allah hanyalah menerima amalan yang dilakukan untuk mengharap wajah-Nya, bukan untuk mencari kemewahan dunia. 

[Pendapat ketiga] Ulama lainnya juga mengatakan bahwa boleh mengambil upah, jika orang tersebut adalah orang fakir dan bukan orang yang mampu (kaya). Inilah pendapat ketika dalam madzhab Imam Ahmad. Mereka menyamakan hal ini sebagaimana Allah mengizinkan bagi wali yatim yang miskin untuk memakan harta anak yatim, namun tidak diperbolehkan untuk wali yatim yang kaya. 

Pendapat ketiga ini adalah pendapat yang lebih kuat dari pendapat lainnya. Oleh karena itu, apabila orang yang miskin memelihara anak yatim dengan diniatkan karena Allah, lalu dia mengambil upah untuk memenuhi kebutuhannya dan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka Allah akan memberikan dia pahala sesuai dengan niatnya. Jika dia memamakan harta tadi, dia berarti telah memakan makanan yang thoyib dan amalan yang dia lakukan adalah amalan sholeh. 

Adapun jika dia membaca Al Quran dalam rangka mendapatkan kemewahan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalannya tadi. Jika amalannya sendiri tidak bernilai pahala (karena tidak ikhlash), maka pahala tersebut sangat tidak mungkin sampai pada mayit. Karena yang sampai pada mayit adalah pahala amalan dan bukan amalan itu sendiri. Malah jika hartanya tadi disedekahkan kepada orang yang membutuhkan dan diniatkan untuk mayit, itu akan lebih bermanfaat dan akan sampai pada mayit. Jika sedekah tadi diserahkan kepada orang yang membantu dalam qira’ah Al Qur’an, pembelajaran Al Qur’an, maka itu lebih baik dan sangat bagus. Alasannya, menolong kaum muslimin dengan jiwa dan harta mereka untuk mengajari dan mempelajari Al Qur’an adalah amalan yang paling utama. 

[Keluarga Mayit Membuatkan Makanan untuk Orang Lain] 

Adapun keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ 

“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ 

“Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”

[Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur] 

Adapun membaca Al Qur’an terus menerus di sisi kubur, maka ini tidaklah pernah dikenal oleh para ulama salaf. Para ulama pun berselisih pendapat mengenai masalah membaca Al Qur’an di kuburan. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad (menurut kebanyakan pendapat dari beliau) melarang hal ini. Namun, Imam Ahmad memberikan keringanan dalam masalah ini dalam pendapat beliau yang terakhir. Yang menjadi dasar Imam Ahmad dari pendapatnya yang terakhir adalah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mewasiatkan agar dibacakan bagian awal dan akhir surat Al Baqarah ketika pemakamannya. Begitu pula ada riwayat dari beberapa kaum Anshor bahwasanya Ibnu ‘Umar pernah mewasiatkan agar membaca surat Al Baqarah di kuburnya (sebelum pemakaman). Namun ingat, ini semua dilakukan sebelum pemakaman. Adapun pembacaan Al Qur’an untuk mayit sesudah pemakaman, maka tidak ada satu riwayat pun dari salaf tentang hal ini. Oleh karena itu, pendapat ketiga ini membedakan antara membacakan Al Qur’an ketika pemakaman dan pembacaan Al Qur’an terus menerus sesudah pemakaman. Pembacaan Al Qur’an sesudah pemakaman adalah amalan yang tidak ada tuntunan dalam agama ini (baca: bid’ah). Amalan seperti ini tidak memiliki landasan dalil sama sekali. 

[Mayit Mendapatkan Pahala karena Mendengar Al Qur’an yang Dibacakan padanya] 

Sedangkan jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ 

“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya. 

[Membangun Masjid di Atas Kubur] 

Adapun membangun masjid di atas kubur yang biasa disebut dengan masyahid, seperti ini tidaklah diperbolehkan. Bahkan seluruh ulama kaum muslimin melarang perbuatan semacam ini karena ada sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ يُحَذِّرُ مَا فَعَلُوا 

“Allah melaknat orang Yahudi dan orang Nashrani karena mereka telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. Allah memperingatkan apa yang mereka lakukan.”

‘Aisyah mengatakan,

وَلَوْلَا ذَلِكَ لَأُبْرِزَ قَبْرُهُ وَلَكِنْ كُرِهَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا 

“Seandainya bukan karena larangan beliau ini, tentu kubur beliau akan dikeluakan. Akan tetapi, hal ini dilarang karena ditakutkan kalau kuburnya dijadikan masjid.”

Dalam hadits yang shahih pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ الْقُبُورَ مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ 

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, mereka menjadikan kubur-kubur sebagai masjid.. Ingatlah janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian dari hal ini.”

Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ 

“Allah melakanat para wanita yang sering menziarahi kubur dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid serta memasang lentera di atasnya.”

Simak pembahasan selanjutnya: Beberapa Kekeliruan Seputar Mayit dan Kubur (2)

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/339-beberapa-kekeliruan-seputar-mayit-dan-kubur-1.html